Oleh: Sri Wahyuni
Bullying, lagi-lagi bullying. Entah mengapa, dari dulu hingga kini, kasus bullying masih saja terjadi. Walaupun pemerintah telah menerapkan peraturan perundangan tentang bullying, kenyataannya kasus ini masih saja terulang dan terulang kembali. Sekolah, madrasah, dan pondok pesantren sebagai tempat tholabul ilmi, acapkali dijadikan ladang pembulian. Sungguh ironis sekali.
Kasus bullying tidak bisa dianggap enteng karena dampaknya terhadap korban sangat luar biasa. Bullying dapat menimbulkan luka yang membekas begitu dalam di hati korban dan ini akan sangat memengaruhi masa depannya. Tak sedikit korban bullying yang akhirnya menjadi depresi. Bahkan, di media massa sering diberitakan kasus bullying yang berujung kematian. Sungguh sadis sekali!
Mencegah lebih baik daripada mengobati, begitu kata pepatah. Agar persoalan bullying ini tidak lagi terjadi, maka diperlukan sinergi yang harmonis antara orang tua dan guru. Karena bagaimana pun juga, anak-anak kita selalu hidup di dua alam yaitu rumah dan sekolah. Sekolah sebagai rumah kedua bagi siswa harus dapat menjadi habitat yang sehat. Selanjutnya, guru sebagai orang tua kedua bagi siswa pun harus senantiasa bisa menyelami jiwa anak-anak didiknya.
Kenali virus bullying sejak dini agar lebih mudah mengatasinya. Sebagai seorang guru kita harus mampu mengenali gejala-gejala yang mengarah pada tindakan perundungan atau bullying. Saya sering menjumpai siswa saya menangis di kelas gara-gara diperolok-olok teman-temannya. Ada yang diberi julukan negatif, disebut nama orang tuanya, dan sebagainya. Ketika ada tugas kelompok, seringkali ada siswa yang dikucilkan. Kejadian-kejadian tersebut sepertinya terlalu remeh untuk didiskusikan. Akan tetapi, jika dibiarkan kasus itu bisa melebar dan memanas. Ujung-ujungnya bisa terjadi kekerasan fisik yang kadang berakibat fatal.
Beberapa waktu yang lalu, saya mendapat laporan dari wali murid bahwa wajah anaknya sedikit memar karena dipukuli oleh dua teman sekelasnya. Jedar! Sebagai wali kelas saya merasa kecolongan. Saya sedih karena tidak tahu apa yang terjadi pada anak-anak didik saya. Padahal aksi pembullyan ini terjadi di madrasah, atau lebih tepatnya di kelas saya.
Keesokan harinya saya segera bertindak. Langkah pertama, kupanggil kedua pelaku sebagaimana yang dilaporkan ibu korban. Dengan menekan emosi, kuajak kedua siswa kesayanganku yang terkenal super itu untuk berbicara dari hati ke hati. Kupaksa menghadirkan senyum saat berbincang dengan mereka, dengan harapan bisa menemukan kejujuran dari cerita mereka. Namun, mereka memang anak-anak yang istimewa. Mereka tak sekadar pandai membuat sensasi yang bikin teman-teman sekelasnya geregetan, tetapi lebih dari itu ternyata mereka juga pandai bersilat lidah.
Langkah berikutnya, kuajak bicara anakku, si pendiam yang jadi korban. Aih, sungguh saya jadi terharu dibuatnya. Doi sama sekali tak menyimpan dendam pada pelaku. Bahkan, keterangan yang dia berikan cenderung memposisikan pelaku di zona nyaman. Kutatap wajahnya, khawatir kalau-kalau dia masih berada dalam suasana tertekan. Akan tetapi, sepertinya dia memang tulus mengucapkan itu. Sungguh luar biasa!
Kubuka kasus ini di depan kelas. Aku paparkan bagaimana mulianya hati si doi yang dengan legawa memaafkan kesalahan dua orang teman yang sudah berbuat zalim kepadanya. Lalu, aku tegaskan kepada siswaku, bagaimana pentingnya menjaga rasa di antara teman. Alhamdulillah, kasus ini pun terselesaikan dengan damai. Kedua pelaku berani meminta maaf disaksikan oleh teman-teman sekelasnya. Ibu korban yang semula mengancam akan datang ke sekolah pun akhirnya bisa mengerti.
Meskipun persoalan telah selesai, aku tak pernah tinggal diam. Kuluangkan waktu lebih banyak untuk mengawasi gerak-gerik anak didikku. Beberapa siswa terpaksa kujadikan mata-mata yang fokus utamanya adalah mengawasi siswa yang super agresif. Aku tak mau kecolongan lagi.
Demi mencekal virus bullying, saya berusaha melakukan berbagai cara agar hubungan siswa sekelas bisa menjadi lebih “mesra.” Kuminta anak-anakku untuk tetap memperlakukan si biang onar dengan baik. Tak boleh ada siswaku yang punya dendam. Alhamdulillah, ternyata usahaku tak sia-sia. Aku sampai menitikkan air mata, tatkala di acara classmeeting, kusaksikan mereka begitu kompak berjuang untuk kemenangan kelasnya. Bahkan, si pendiam yang pernah jadi korban bullying itu pun ikut serta lomba bersama kawan-kawannya. Meski tak satu pun mata lomba yang dimenangkan oleh siswaku, tetapi aku bahagia sekali. Bagiku, mereka adalah pemenang sejati. Mereka telah menang melawan keegoisan pribadinya. Selamat ya, Nak! Kalian begitu istimewa di hati Ibu. Teruslah menjaga kekompakan. Ibu sayang pada kalian. Good luck!
***
Kampung Asa, 15 Agustus 2022
Re-Post : http://www.gurusiana.id/sriwahyuni/