CITA-CITA YANG TERTUNDA

You are currently viewing CITA-CITA YANG TERTUNDA

Oleh: Muhammad Abi Sholeh

Cinta literasi berbuah prestasi. Saat seorang teman mengirim brosur lomba dengan tema tersebut, saya senang dan sangat antusias membacanya. Diksinya sederhana, puitis, singkat, padat dan penuh makna. Sebagai pecinta literasi, pikiran saya langsung tergelitik, ingin merangkai kata untuk mengurainya. Akan tetapi, aku sempat bingung. Darimana dan bagaimana aku harus memulai?

Nah, dalam kegalauan yang aku rasakan, tiba-tiba aku teringat pengalamanku di masa lalu. Mungkin Anda penasaran, bagaimana sebenarnya kisah tersebut. Berikut akan saya ceritakan.

Dulu, pada masa-masa indah menuntut ilmu, saya memiliki banyak teman dengan lingkungan pendidikan dan kultur yang berbeda-beda. Tanpa disadari terpupuk suasana literatif dalam diri saya. Karena lingkungan tersebut sangat memungkinkan untuk tertarik kepada ilmu pengetahuan. Memori ini terukir sangat kuat dalam benak saya, sejak duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah hingga lulus Diploma 2 PGSD tahun 1998. Kenapa masa-masa itu begitu berkesan? Karena usia remaja saya dihabiskan di 4 pesantren yang berada di Jember, Probolinggo, dan Malang.

Keinginan menulis artikel mulai bersemi ketika saya kuliah dan nyantri di pesantren Miftahul Huda, Gading, Malang. Penyebabnya adalah artikel Islami yang selalu diletakkan di pintu masjid setiap menjelang Salat Jum’at. Artikel tersebut sengaja diletakkan di pintu masuk masjid agar mudah dijangkau dan diambil oleh jama’ah Salat Jum’at. Artikel pendek tersebut berisi nasihat Islami, nasihat tentang kehidupan sehari-hari, dan lain-lain. Pada umumnya, artikel ditulis oleh akademisi dan ustadz karena lokasi masjid pesantren dekat dengan beberapa kampus besar di Malang.

Kala itu, saya hanya aktif sebagai pembaca. Keinginan untuk bisa menulis seperti mereka hanya sebatas angan dan tak pernah terwujud. Padahal sudah beberapa buku motivasi tentang bagaimana menjadi penulis pemula sudah saya baca. Keinginan untuk menulis tidak hanya muncul sekali, tetapi berkali-kali. Namun, sekali lagi, impian itu tak satu pernah terwujud. Penyebabnya adalah karena saya tidak percaya diri, takut salah, takut dikomplain pembaca, takut dikritik, dan lain-lain. Di samping itu, karena tidak ada motivasi dari luar yang mendorong/memaksa saya untuk menulis. Akhirnya, perlahan tapi pasti, cita-cita itu pun terbujur kaku dan terkubur bersama waktu.

Hingga pada akhirnya, beberapa bulan yang lalu, saya mulai mendengar bahwa literasi mulai hangat diperbincangkan di kalangan guru madrasah. Awalnya saya bersikap acuh, tak peduli. Saya tak berminat sama sekali untuk terlibat. Ah, nambahin pekerjaan saja, begitu yang terlintas dalam pikiran saya saat itu. Namun, pikiran saya berubah seketika saat Ibu Hj. Nur Aliyah, sang penggerak literasi pindah tugas sebagai kepala madrasah di tempat saya mengajar, MTs Negeri 2 Jember. Karena kedatangan beliau, perasaan aneh mulai merasuki pikiran saya. Bagaimana seandainya nanti semua guru diwajibkan untuk menulis? Padahal saya tidak suka menulis. Jika program ini benar-benar diterapkan di madrasah saya, maka “habislah” saya.

Ternyata dugaan saya tak meleset sama sekali. Apa yang kutakutkan benar-benar terjadi. Hanya beberapa saat setelah dilantik, beliau selalu mengajak semua guru untuk menulis. Memang tidak wajib sih. Akan tetapi beliau terus-menerus menyuruh kami. Nah, lama-lama kami jadi nggak enak juga kan? Sungkan gitu loh. Hehe….

Dua bulan kemudian, ketika suasana hati tenang dan santai, imajinasi saya mulai menari-nari, mereka-reka, bagaimana jika saya mencoba menulis. Saya mulai memikirkan objek apa yang menarik, unik, dan pantas untuk dituangkan dalam tulisan. Pengalaman apa yang bisa diuraikan. Eng ing eng….

Hari-hari pun berjalan seperti biasa dan suntuk juga saya menunggu wangsit dari langit. Akhirnya munculah inspirasi kuliner favorit saya, tempat pelarian di kala badan kurang fit dan tidak punya nafsu makan. Kuliner ini murah meriah dengan sejuta asa dan harapan yaitu ingin nafsu makan saya pulih kembali. Kuliner favorit saya itu adalah sop kikil Haji Abdullah di Jalan Cempaka. (Kisah ini saya tulis pada essay pertama saya). Untaian kalimat berusaha saya susun sangat rapi dan hati-hati karena inilah tulisan pertama saya. Saya berpikir bahwa tulisan ini akan menjadi penentu nasib “karier” saya di bidang literasi, ke depannya akan berlanjut atau berhenti total. Sebelum tulisan itu saya posting, perasaan ragu dan bimbang mulai menggelayuti pikiran saya. Saya konsultasikan tulisan tersebut kepada guru senior dalam urusan tulis-menulis dan jawabannya adalah “keren dan lanjutkan”.

Motivasi singkat ini ternyata cukup kuat mandorong saya untuk terus melaju dan mengorbitkannya di website Media Guru Dengan penuh semangat, tulisan tersebut saya posting dan terkirim. Beberapa hari kemudian,munculah pengumuman bahwa tulisan saya dianggap baik dan dinyatakan menang. Alhamdulillah. Saya mendapat ucapan selamat dari kepala madrasah dan teman guru. Saya pun diberi piagam penghargaan di hadapan seluruh siswa. Sekali lagi, Alhamdulillah.Ternyata benar, Cinta Literasi itu Berbuah Prestasi. Salam Literasi!

***

Jember, 9 September 2022

Leave a Reply