Oleh : Rika Nurul Barokah
Tiga tahun yang lalu, saya bertugas sebagai wali kelas reguler di kelas 7. Sebagai wali kelas, tentu saya harus membimbing dan menghafal semua nama anak saya, sesuai pepatah “Tak kenal maka tak sayang.” Saat tatap muka pertama, saya sempatkan mengabsen mereka. Begitu pula pada pertemuan selanjutnya. Alhamdulillah, tak berselang lama saya pun bisa menghafal nama semua siswa di kelas saya.
Hingga suatu hari, ketika saya sedang memanggil nama salah satu siswa, sebut saja Wahyudi, serentak kelas jadi ramai. Ada salah satu siswa yang nyeletuk dengan menyebutkan nama tokoh dalam sebuah film kartun yang pemeran utamanya adalah domba. Seisi kelas menyambut ucapan itu dengan tawa riuh. Spontan saya bertanya kepada mereka tentang penyebab kegaduhan ini.
Suasana kelas seketika berubah jadi sepi dan senyap. Sepertinya mereka takut mau menjawab. Dengan sedikit keras saya paksa mereka untuk memberi penjelasan dan akhirnya ada salah satu siswa yang menjawab bahwa Wahyudi itu mereka juluki dengan “Shaun The Sheep.” Alasan mereka karena mukanya mirip kartun pemeran Shaun The Sheep.
Aduh, tentu saja saya kaget dan merasa kasihan mendengar mereka suka membully Wahyudi karena menurut kaca mata mereka, wajahnya kelihatan lucu dan matanya agak sedikit ada kekurangan.Tanpa kuduga, Wahyudi pun menyahut bahwa teman-temannya suka mentertawakan dan menyebutnya dengan sebutan Shaun The Sheep. Memang sih, penampilan Wahyudi itu sedikit berbeda dengan anak yang lainnya. Tubuhnya kurus dan cara berpakaiannya terlihat tidak ada keren-kerennya sama sekali alias “culun”. Akibatnya, teman-temannya jadi enggan berteman dengan dia. Bahkan mereka sering memarahi si Wahyudi tanpa alasan yang jelas.
Untungnya, Wahyudi itu anak yang mempunyai rasa percaya diri tinggi. Walaupun sering diperlakukan tidak baik dan tidak ada yang mau bergaul dengannya, dia bersikap cuek dan tetap semangat untuk belajar. Walau kutahu, dia pasti sedih dan kecewa karena tidak ada yang mau berteman dengannya. Sebagai ibu, saya pun merasa kasihan sekali padanya.
Setelah saya telusuri tentang keluarganya, ternyata Wahyudi itu tergolong dari keluarga yang kurang mampu. Suatu hari, Wahyudi terlihat kurang sehat. Saat saya Tanya, Wahyudi menjawab bahwa dia sakit perut. Yang membuat saya terperanjat adalah keterangan Wahyudi bahwa dia habis sarapan nasi yang sudah basi karena tidak ada lagi makanan dirumahnya. Masya Allah, hati ini rasanya teriris dan menangis. Kasihan sekali engkau, Nak. Di sekolah ataupun di rumah, selalu kepahitan yang engkau hadapi.
Setelah kejadian tersebut, saya semakin iba akan nasib Wahyudi. Saya pun lebih keras menasihati anak-anak kelas saya agar berhenti membully Wahyudi. Dengan tegas saya memberikan ancaman akan menghukum siapa saja yang berani membully Wahyudi. Alhamdulillah, rencana ini ternyata membuahkan hasil. Lambat laun Wahyudi bisa diterima oleh teman-temannya. Bahkan, teman yang semula terang-terangan memyatakan tidak suka, jadi sering membawakan makanan untuk Wahyudi. Sebagai wali kelas, saya pun berusaha lebih ketat memperhatikan masalah makanannya. Tak jarang saya membelikan nasi dan menambah uang jajan untuk Wahyudi.
Rasa percaya diri yang tinggi dari Wahyudi semakin menunjang proses belajarnya sampai pada akhirnya Wahyudi bisa menjuarai lomba puisi antar kelas. Ketika acara perpisahan kelas IX di Java Lotus Hotel, Jember, dia diberi kesempatan kehormatan untuk menyanyi dan membacakan puisi. Walaupun semua kostum yang dipakai hasil pinjaman dari bapak guru karena dia tidak punya uang untuk menyewa, tetapi Wahyudi bisa tampil memukau. Ada butiran bening yang menitik di kedua sudut mataku. Wahyudi, mudah-mudahan kelak engkau menjadi orang yang sukses.Aamiin…
***
Kampung B29, 12 Agustus 2022
Re-Post : http://www.gurusiana.id/rikanurul